Seberkas Cahaya dari Timur; Sebuah Uraian tentang Gereja Katolik Timur


Seberkas Cahaya dari Timur;
Sebuah Uraian tentang Gereja Katolik Timur
Arsenius Rotikan | Poesis

Pembacaan Injil dalam Bahasa Yunani oleh seorang diakon Ritus Byzantine dalam Misa di Piazza S. Pietro Vatikan, menyusul Injil dalam bahasa Latin.

Jika kita menyaksikan Misa Paskah di Vatikan yang setiap tahun disiarkan lewat televisi, pasti kita akan melihat bahwa Injil dua kali dibacakan (bahkan dinyanyikan). Pertama dalam bahasa Latin, yang kedua dalam bahasa Yunani. Kita tak perlu menebak lagi siapa yang membacakan Injil berbahasa Latin itu. Pastilah dia seorang Diakon. Tapi, si pembaca Injil yunani terkesan asing bagi penglihatan kita. Nyanyiannya, dan aklamasi sebelum dan sesudah Injil pun asing di telinga kita. Apa dia Diakon juga? Kok pakaiannya lain ya? Orang itu ialah seorang Imam atau Diakon Ritus Byzantin. Atau lebih tepatnya, Diakon Gereja Timur yang menggunakan Ritus Byzantine, yang berada dalam persatuan penuh dengan Paus Roma. Apa sih Ritus Byzantine itu? Bukannya mereka Orthodox? Apakah kini Gereja Katolik juga terpecah dalam denominasi-denominasi seperti Gereja Protestan? Apa mereka juga ada di Indonesia?

I.            Gereja Katolik Timur
Gereja Katolik Timur, atau dalam bahasa Latin disebut Ecclesia Catholicae Oriantales,adalah sebutan bagi ke-23 kepatriarkhan Gereja Timur yang beribadat menggunakan Ritus-Ritus bukan Latin, dengan kodeks hukum sendiri, namun berada dalam persekutuan penuh dengan Paus Roma sebagai Patriarkh Gereja Barat/Latin. Kedua-puluh-tiga ritus ini berasal dari lima ritus besar; Alexandria, Antiokia (Suriah Barat), Armenia, Byzantin, dan Kaldea (Suriah Timur). Umat katolik timur berjumlah kurang lebih 13 juta jiwa, atau 1,1% dari seluruh umat Katolik, dan 5% dari seluruh Gereja Kristiani yang menggunakan Ritus Timur.
Setiap Gereja partikular ini dipimpin oleh seorang Patriarkh yang bersatu penuh dengan Paus. Istimewanya, masing-masing kepatriarkhan berhak memilih patriarkh dan para uskupnya tanpa campur tangan Paus Roma. Tahkta St. Petrus hanya memberikan Restu kepada calon yang diajukan. Oleh Kepausan Roma, para patriarkh digolongkan dalam dewan Kardinal, dengan geler ”Cardinal Sanctae Ecclesiae”, tanpa kata, “... Romanae”, di akhirnya, seperti yang ada pada para Kardinal dari Ritus Romawi/Latin.


II.        Awal Mula; Perpecahan dan Persatuan
Gereja mula-mula berkembang di Timur Tengah dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Roma (cikal-bakal gereja Latin/Roma). Jadi, gereja Ritus Timur bukanlah merupakan sesuatu yang baru terjadi, atau ada ide yang kemudian menggagas munculnya Gereja dengan Liturgi dan penghayatan khusus yang berbeda dari Ritus Romawi, sebagaimana yang terjadi dengan gereja-Gereja Protestan.
Dalam perkembangannya, munculah masa perpecahan yang membuat Gereja-Gereja Partikular (Roma, maupun Gereja-gereja Timur) saling berselisih, hingga masing-masing pihak menuduh pihak lain sudah tidak lagi berada pada Gereja yang sungguh orthodox dan sungguh katolik (Orthodox dan Katolik sendiri bukanlah nama agama, melainkan sifat dari gereja yang berarti, orthodox=jalan yang lurus, dan katolik=universal). Perselisihan ini akhirnya berujung pada masing-masing pihak mengucilkan pihak lainnya. Pada Sabtu petang tanggal 16 Juli 1054 ketika sedang dilangsungkan Liturgi Ilahi/Misa Kudus, Legatus gereja Roma meletakkan Bulla Ekskomunikasi terhadap Patriarkh Konstantinopel, Cerularius di atas Altar gereja Kebijaksanaan Kudus/Hagia Sophia. Patriarkh tersebut membalas dengan meng-Anathema/Ekskomunikasi Paus Roma. Kelompok yang berselisih dengan Roma inilah yang kemudian menyebut diri sebagai Gereja yang sungguh orthodox dan sungguh katolik. Kemudian istilah Orthodox dipahami banyak orang sebagai nama agama kelompok ini. Demikianpun nama Katolik yang diidentikkan dengan Gereja Roma, meskipun dalam gereja Katolik juga menggunakan istilah orthodox ini sebagai sifat Gereja yang benar (juga muncul dalam Doa Syukur Agung I versi bahasa Latin).
Bertahun-tahun lamanya, sekelompok umat dari Gereja-Gereja Orthodox berkeinginan untuk kembali dalam persekutuan penuh dengan Takhta Petrus/Gereja Roma. Gereja-Gereja Timur tidak meninggalkan Tradisi Liturgi dan Teologinya yang berasal juga dari para Rasul Sehingga munculah Gereja-Gereja Katolik Timur yang memiliki counterpart dengan nama yang mirip dengan Gereja Orthodox. Misalnya ada Gereja Katolik Koptik, ada Gereja Orthodox Koptik. Ada Gereja Katolik Yunani-Ukraina, ada pula Gereja Orthodox Ukraina, dan sebagainya. Hanya gereja Maronit, yang mengaku tidak pernah berpisah dengan Gereja Katolik Roma.

III.        Satu Cawan Perjamuan
Persatuan dengan Roma menjadikan Gereja-Gereja Timur bernar-benar ‘satu altar’, ‘satu Kurban’, dan ‘Satu Cawan Perjamuan’. Yang membedakan hanyalah Liturgi dan tradisi Teologi dan Kesalehan hidup yang khas dari masing-masing Ritus. Gereja-Gereja Timur berekembang sebagai Gereja yang otonom, yang mengurus pelayanannya sendiri tanpa campur Tangan Vatikan, namun tetap dalam persekutuan Penuh dengan Takhta Suci Roma.
Dekrit tentang Gereja Timur (Orientalium Ecclesiarum, 1949) membebaskan gereja timur dari kecurigaan akan adanya gerekan Latinisasi,yaitu gerekan yang dulu gencar dilakukan oleh pihak kepausan untuk memaksa Gereja-Gereja Timur menerima aturan-aturan Ritus Latin, semisal penggunaan roti tak beragi (sebagian besar ritus timur menggunakan roti beragi/prosphora, bukan hosti seperti ritus latin, kecuali beberapa ritus seperti Ritus Armenia dan Maronit) memperkuat kedudukan Patriarkhnya, dan menjamin tradisi liturgi dan teologinya. Takhta Suci St. Petrus Roma menjamin kesamaan martabat, hak dan kewajiban dari semua Ritus, barat maupun timur.
Persatuan dengan Roma, yang membedakan Gereja-Gereja Katolik Timur dari counterpart-nya dalam Gereja Orthodox, nampak jelas dengan tak sedikitnya Uskup Gereja-Gereja Katolik Timur yang mengikuti Konsili Vatikan kedua, yang kemudian menghasilkan dokumen Orientalium Ecclesiarum seperti dijelaskan di atas. Selain itu, para uskup dan klerus ritus timur juga hadir dalam Misa Requiem untuk mendiang Paus St. Yohanes Paulus II dan melantunkan Panikhida, suatu Liturgi pemberkatan Jenazah dalam RItus Byzantine dalam bahasa Arab dan Yunani.
Soal kesatuan kurban, setiap umat ritus latin dapat mengikuti Liturgi Ilahi dan menyambut Komuni dari ritus Timur manapun yang bersatu dengan Takhta Suci. Demikianpun setiap umat Ritus Timur dapat menerima Komuni dari ritus latin, maupun ritus timur lain yang bersatu dengan Takhta Suci. Bahkan bagi para imam, dapat diberi izin biritus, suatu izin bagi para imam untuk dapat memimpin Ekaristi dalam satu ritus, di luar ritus di mana imam itu ditahbiskan. Misalnya, seorang Imam Katolik Roma dapat memimpin Liturgi Ilahi dengan Busana Liturgi dari Ritus Byzantin, demikian juga sebaliknya. Sementara Paus Roma dapat memimpin Misa dengan Ritus Latin atau Ritus Timur mana saja. Misalnya Paus Yohanes Paulus II yang memimpin Liturgi Ilahi dalam Ritus Byzantin/Yunani Ukraina sebagai selebran utama di Basilika St. Petrus Roma pada 7Juli 1996. Dan sampai saat ini, di basilica St. Petrus yang menjadi pusat Gereja Ritus Latin/Romawi ada Diakon Ritus Byzantin yang melayani Misa-Misa Mulia yang dipimpin Oleh Paus Roma, tentu saja kebanyakan dalam Ritus Latin.

IV.       Gereja-Gereja Timur ; Denominasi Katolik?
Seperti dikatakan dalam poin di atas, Gereja-Gereja Timur berkembang sebagai Gereja Otonom, dengan segala urusan internal seperti soal hierarki dan pastoral menjadi hak dari tiap kepatriarkhan, tanpa campur tangan Roma. Jadi, apakah Gereja Katolik kini memiliki denominasi-denominasi seperti dalam Gereja Protestan?
Gereja-gereja Katolik Timur telah ada sejak dahulu, namun terpisah dengan Roma dalam beberapa insiden. Namun seiring berjalannya waktu, kembalilah kelompok-kelompok kecil dari mereka yang terpisah itu ke dalam persekutuan Gereja Katolik dengan Paus sebagai patriarkh Latin sekaligus yang pertama dari semua patriark Timur, sebagaimana St. Petrus, pendahulunya sebagai yang pertama di antara para Rasul. Hal ini jelas berbeda dengan denominasi-denominasi protestan, yang semakin lama semakin terpecah menjadi gereja-gereja baru. Gereja A terpecah menjadi AA dan AB, kemudian Gereja AA menjadi AA1 dan AA2, dan seterusnya. Di antara setiap denominasi tidak terdapat persatuan kembali atau rekonsiliasi seperti yang terejadi antara Ritus-Ritus Timur denga Gereja. Singkatnya, Gereja Katolik Timur adalah mereka yagn dulu berpisah namun kini bersatu dalam Gereja Katolik, sementara denominasi adalah mereka yang dulu bersatu namun kini terpecah dalam banyak Gereja.
Gereja-Gereja Timur juga tidak dapat disebut denominasi karena kenyatan adanya ‘Satu Kurban’ dan ‘Satu Cawan Perjamuan’. Sementara dalam denominasi-denominasi, anggota denominasi yang satu tidak dapat duduk makan dalam perjamuan kudus yang diadakan denominasi lain. Misalnya, beberapa Gereja Lutheran yang mempertahankan ajaran Transubstansi tentu akan menolak memberikan komuni kepada umat Calvinis yang menolak transubstansi.

V.         Cahaya Takhta St. Andreas di Indonesia
Selama ini, hampir seluruh umat Katolik di Indonesia hanya mengetahui Gereja Katolik sebatas Ritus Roma yang menjadi Ritus Umum bagi umat Indonesia. Namun sebenarnya belakangan ini, terdapat sekelompok umat Katolik yang beribadat menurut Ritus Byzantin di Jakarta. Tradisi Byzantin berkembang dari Byzantium (yang kemudian menjadi kota Konstantinopel, dan sekarang Istanbul, Turki), dan diyakini berawal dari umat yang didirikan oleh Rasul St. Andreas, saudara St. Petrus, sehingga sebagaimana Gereja Roma dikenal dengan Takhta St. petrus, Gereja Katolik dengan Ritus Byzantine disebut dengan Takhta St. Andreas.
Romo/Presbyter Byzantine dari Australia yang datang ke Indonesia sekadar mengambil cuti menjadi pemimpin Liturgi bagi mereka. Dan menariknya, pembimbing kelompok umat ini adalah seorang Romo lokal yang  notabenenya adalah Imam Ritus Latin. Sayangnya, kelompok ini terbengkalai ketika Romo pembimbing ini mendapat tugas untuk studi ke Roma.
Kemajuan terbaru, muncullah sebuah kelompok Ritus Timur sebagai kelompok studi yang mencoba memperkenalkan Tradisi Byzantin kepada umat Indonesia melalui berbagai katekese melalui media social, juga dengan adanya seorang katekumen muda bekas Protestan asal Manado yang dianugerahi Allah kecakapan melukis Ikon-Ikon Suci (Ikonografer) sehingga turut membantu katekese melalui pengenalan akan Ikon-Ikon Suci. Jumlah umat Byzantine ini juga terbilang sangat sedikit. (sumber yang diwawancarai penulis meminta agar tidak perlu menyebutkan jumlah).
Kelompok umat Ritus Byzantin di Indonesia saat ini belum memiliki yuridiksi. Tetapi komunitas yang ada saat ini berasal dari Gereja Katolik Yunani Ukraina. Patriarkhnya saat ini ialah Yang Mulia Sviastoslav Shevchuck, yang baru-baru ini mendapat kesempatan memimpin Liturgi Ilahi dalam Ritus Byzantin di basilika St. Petrus, Roma. Allah sungguh menggembirakan hati umat-Nya ini dengan hadirnya seorang Imam Ritus Byzantine berdarah Ukraina yang memilih menghabiskan masa tuanya di Indonesia. Imam inilah yang menyelenggarakan Liturgi Ilahi bagi kelompok tersebut di Jakarta.
Patriarkh Gereja Katolik Yunani-Ukraina , Yang Mulia Sviastoslav Shevchuk, memimpin Liturgi Ilahi (Misa Kudus) di Basilika St. Petrus, Vatikan. 
Pendekatan-pendekatan dilakukan juga kepada KWI dan pada masing-masing keuskupan. KWI memberi syarat minimal 800 umat agar dapat diterima secara resmi. Sementara tak dapat dipungkiri, beberapa keuskupan justru menunjukkan tanggapan kurang mengenakkan.
Tanggapan semacam ini timbul karena bahkan para imam Katolik di Indonesia sendiri kurang bahkan tidak mengetahui tentang Katolik Timur. Banyak yang masih menyamakannya dengan Gereja Orthodox sehingga menganggap umat Katolik Timur sebagai bagian terpisah dari Gereja Katolik. Bahkan pengakuan Romo yang pernah membimbing kelompok Ritus Timur di Indonesia, seperti dikatakan narasumber, para Frater yang menjadi mahasiswanya di sebuah Seminari Tinggi tidak dapat menjawab dengan tepat ‘Ápakah Gereja Katolik Timur itu?’.

VI.       Kesimpulan
Semakin nyatalah kekayaan Gereja Katolik dalam hal Tradisi Teologis dan Liturgis. Persekutuan Gereja Katolik Timur dengan Takhta St. Petrus Roma menjadi buktinya. Gereja-Gereja Timur ini adalah mereka yang akhirnya menemukan Gereja yang benar-benar Katolik (Universal) dan benar-benar Orthodox (pada jalan yang lurus) yaitu Gereja Katolik Roma. St. Yosafat (1580-1623), yang masa kecilnya sebagai seorang Orthodox (non-uniat) dan kemudian menjadi uskup Gereja Katolik Yunani-Ukraina dan dimartir oleh massa Orthodox yang menyerang Katedralnya, pernah bersaksi, “Jika seseorang ingin menjadi orang Orthodox, Gereja Katoliklah Gereja yang sungguh Orthodox itu.”
Ritus-Ritus Timur bukan hanya sekedar variasi saja dalam tata Liturgi Misa dan Sakramen, tetapi Gereja-Gereja Timur memiliki Tradisi Teologi dan Spiritual yang amat mendalam penghayatannya, yang merupakan juga warisan dari para Rasul sendiri. Gereja ini mempunyai suksesi Apostolik yang jelas dari para Rasul. Jadi Gereja Katolik Timur bukanlah ‘Gereja kemarin sore’, sebagaimana denominasi-denominasi yang semakin hari semakin banyak tercipta Gereja baru.
Suksesi Apostolik, dan persekutuan dengan Paus Roma ini harusnya membuka mata semua Klerus dan Awam Katolik Latin, termasuk umat Indonesia, bahwa tak selayaknya Gereja-Gereja Timur di-anak-tirikan. Sehingga tak perlu mengusir mereka yang mengetuk pintu keuskupan, hanya sekadar meminta izin mengadakan Liturgi Ilahi. Sebaliknya, mereka perlu dirangkul, karena mereka adalah saudara, sebagaimana Patriarkh pertama kita, St. Petrus, dan Patriarkh pertama Gereja Byzantin, St. Andreas adalah saudara kandung. Perbedaan Ritus justru semakin menunjukkan kebhineka-tunggal-ikaan Gereja kita; berbeda Ritus, namun satu dalam rangkulan Paus. Kita, baik Katolik Roma, maupun Katolik Timur, adalah Gereja yang sungguh Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Dan Kita adalah Gereja yang sungguh orthodox, yang bukan merujuk sebagai satu nama Gereja, tetapi sifat Gereja kita yang sungguh berjalan pada jalan Kristus yang lurus.

Referensi:
Tombiling, Ch, komunikasi pribadi, 26-28 April 2018
Saudara Kandung ; St. Petrus dan St. Andreas

Komentar