Titik Temu dan Titik Tengkar Kristen dan Islam
Seminari Menengah St.
Fransiskus Xaverius
Keuskupan Manado
Jln. Opo Worang No. 263, Kakaskasen III, Tomohon
“Titik Temu dan Titik Tengkar Kristen dan Islam”
Disusun Oleh:
Arsenius J. Rotikan
Tomohon
2017
Jln. Opo Worang No. 263, Kakaskasen III, Tomohon
“Titik Temu dan Titik Tengkar Kristen dan Islam”
Disusun Oleh:
Arsenius J. Rotikan
Tomohon
I. PENDAHULUAN
Agama Kristen dan Islam mempunyai banyak titik temu dan titik tengkar
yang telah banyak diangkat dalam diskusi-diskusi dan dialog-dialog antar-agama.
Semua dialog yang pernah terjadi berusaha mencari titik temu dari berbagai
ajaran dogmatis yang saling bertolak-belakang itu. Banyak diantaranya yang
berhasil menemukan suatu kesepakatan yang jelas. Namun ada pula yang semakin
diperdebatkan, semakin itu membuka jalan untuk perdebatan selanjutnya.
Salah-satunya yang menjadi titik tengkar yang fundamental, yang sampai
kini belum ditemukan jawaban yang tepat atas bersoalan itu, adalah soal konsep
ketuhanan. Apakah islam dan Kristen menyembah Allah yang sama? Bagaimana relasi
antara Tuhan dan umatnya? Apakah Tuhan itu, dengan segala keagungan dan
kemegahan-nya yang menggemparkan, jauh dari umat? Ataukah Ia justru memiliki
relasi yang akrab dengan umat-Nya? Bagaimana konsep Trinitaris Kristen
bersinggungan dengan Tauhid Islam mengenai keesaan Tuhan?
Perbedaan-pemahaman yang mendasar mengenai
Tuhan dalam kedua agama ini telah menciptakan suatu pertanyaan, apakah kristen
dan Islam menyembah Tuhan yang sama? Pertanyaan ini muncul bukan tanpa dasar,
tetapi karena dalam beberapa ajaran tentang Tuhan dalam kedua agama ini, secara
sepintas, terlihat bertentangan. Kristen mengakui satu Tuhan dalam tiga
pribadi. Tetapi Islam menyatakan bahwa Tuhan itu mutlak keesaan-Nya. Dalam
berbagai peristiwa yang diceriterakan dalam kitab suci (baik Alkitab maupun
Al-Quran), sosok Tuhan digambarkan dalam segala kemegahan dan kebesaran yang
menggemparkan. Namun banyak peristiwa dalam Alkitab menunjukkan Tuhan yang
memiliki sifat seperti manusia, misalnya Allah yang menyesal (lih. Kej 6;7),
cemburu (lih. Yes. 9;6), dan berbagai sifat emosional manusiawi lainnya.
Tulisan ini ingin mengulas apa yang menjadi
dasar dari segala perbedaan yang ada, bukannya mencari mana yang paling benar.
Inti makalah ini adalah bagaimana perbedaan itu terjadi, dan apa yang menjadi
landasan dari kedua agama ini mempertahankan dogmanya masing-masing. Ulasan
dalam makalah ini disusun dengan pandangan netral dari penulis, sehingga dalam
pembahasan ini, latar-belakang kekristenan dari penulis, untuk sementara
dikesampingkan, sehingga tidak menimbulkan argumen bahwa penulis menekankan
kebenaran Kristen dalam masalah ini.
Dalam makalah ini, pembahasan mengenai perbedaan
konsep ketuhanan antara kedua agama ini
disorot dari segi dasar/landasan pikir dari kedua golongan ini dalam
mempertahankan ajarannya masing-masing. Penulis mencoba menguraikan pandangan
kedua agama tanpa condong terhadap satu golongan, dan dengan mengabaikan
latar-belakang penulis dalam proses penyusunan makala ini, sehingga dengan
demikian menghasilkan suatu kesimpulan yang netral mengenai ajaran
masing-masing agama..
Dalam penulisan ini, disoroti poin-poin
perbedaan yang paling fundamental/mendasar, dengan menggunakan kajian-kajian
berdasarkan pendapat berbagai sumber dan ahli keagamaan. Berdasarkan pendapat
para ahli dan pakar ketuhanan dari masing-masing agama, disusunlah suatu
pembahasan mengenai perbedaan-perbedaan menyangkut konsep ketuhanan menurut
kedua agama.
Perbedaan-perbedaan yang ada dalam ajaran
Agama Kristen dan Islam membuat para
penganutnya mempertanyakan apakah agama yang satu menyembah Tuhan sebagaimana
yang mereka sembah. Pertanyaan ini muncul terutama dari kalangan umat Islam. Perhatikan
isi Surah Al-Kaafiirun (al-Kafirun)[1]
berikut:
Katakanlah : “Hai
orang-orang kafir, Aku tidak menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah
(pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah
agamaku.”
Banyak orang yang menafsirkan
sebutan “kafir” pada Surah Al-Kaafiirun di atas sebagai orang-orang Kristen. Hal
ini diperkuat oleh ayat lain yang mengandung makna bahwa orang kafir yang yang
dimaksud adalah umat Kristen/Nasrani.
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih
putra Maryam’.” (al-Maidah: 17)
Namun sebenarnya jika dicermati lebih kritis,
umat Kristen bukan satu-satunya alternatif yang dapat dijadikan tafsiran dari
kata ‘kafir’ dalam surah al-Kafirun di atas. Ini dikarenakan kondisi saat itu
Islam sendiri sementara gencar menolak segala bentuk tahayul dan penyembahan
berhala kaum Quraisy[2],
di mana Islam tumbuh dan berkembang dari tengah mereka. Kultis kaum Quraisy
bersentuhan langsung dengan kehidupan umat Islam awal, yang pada masa itu, memprioritaskan
isi Dakwah (pengajaran) mereka untuk melawan penyembahan berhala kaum Quraisy
tersebut. Sehingga jika dilihat dari prioritas perlawanan ajaran, maka kata
‘kafir’ dalam surat Al-Kafirun di atas lebih mungkin ditujukan kepada kaum
Quraisy. Sehingga kata ‘kamu’ dalam ayat ke-2 (Aku tidak menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.) tidak serta-merta dapat ditafsirkan sebagai kaum
Kristen, dan juga tidak serta-merta ditujukan kepada kaum Kristen.
Lagi pula, jika
ditinjau lebih jauh lagi dalam Al-Quran, banyak ditemukan pembenaran akan Kitab
Suci Kristen. Salah satunya tertera dalam Surah Al-Maidah ; 47 :
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil,
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang fasik.”
Dalam surah ini, Islam membenarkan umat Kristen
menuruti ajaran Injil. Hal ini berarti Islam mengakui kebenaran dalam Injil,
yang disebut sebagai Kitab Terdahulu. Bahkan dalam ayat ini dikatakan sebagai
firman “....yang diturunkan Allah di dalamnya.” Ini menunjukkan keadaan bahwa
yang menurunkan Injil adalah Tuhan, sebagaimana yang disembah oleh umat Islam.
Sangat masuk akal, karena jika ‘Tuhan’ yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah
suatu ‘Ilah’ yang lain, maka tidak mungkin ditulis dengan sebutan ‘Allah’,
dikarenakan Islam tidak menyebut ilah atau berhala bangsa lain dengan sebutan ‘Allah’.
Dalam Tauhid (monoteisme) Islam, menyebut berhala kaum kafir sebagai ‘Tuhan’
merupakan perbuatan Syirk. Syirk atau
“meny-syarikat-kan Allah” berarti
menempatkan sesuatu, betapapun kecilnya, di samping atau sejajar dengan Allah.[3] Umat
Islam bahkan enggan menyebutnya, sehingga, seperti pada surah Al-Kaafiirun di
atas, digunakan sebutan ‘apa yang kamu sembah’ untuk menyebut berhala/ilah
orang-orang kafir. Hal ini mendukung kesimpulan bahwa Islam dalam Al-Qurannya
mengakui bahwa Kristen (dan Yahudi) menyembah Tuhan yang sama.
Sementara dari pihak
Kristen sendiri, diajarkan bahwa Islam dan Kristen menyembah satu Tuhan yang
sama. Hal ini terlihat dalam Dekrit Konsili Vatikan II tentang Hubungan Gereja
dengan Agama-Agama bukan Kristen. Di dalamnya diberikan penjelasan tentang
sikap Gereja terhadap Islam, yang dirumuskan sebagai berikut:
Gereja
juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat,
penuh belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda
kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap
hati kepada ketetapan-ketetetapan Allah juga yang bersifat rahasia, seperti
dahulu Abraham – iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya – telah
menyerahkan diri kepada Allah. Memang mereka tidak mengakui Yesus sebagai
Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. (NA. art. 3)
Dengan mengakui bahwa iman Islam mengacu kepada Abraham, maka Gereja
mengakui juga bahwa Islam menyembah Allah, sebagaimana yang disembah oleh
Abraham, yaitu Allah yang disembah oleh umat Kristen. Lanjut, dalam dokumen NA
ini dikatakan bahwa Islam mengakui Yesus Kristus/Isa Almasih sebagai nabi,
meski bukan sebagai Tuhan. Ajaran Islam mengakui bahwa Yesus diutus oleh Allah
kepada umat Israel. Tentulah Allah yang dimaksud adalah Allah yang diakui oleh
umat Islam, sehingga tentang ini termuat juga dalam Al-Quran:
“Dan
(Allah jadikan Isa) sebagai Rasul (yang diutus) kepada Bani Israil (dan berkata
kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa ayat
(mukjizat) dari Rabb-mu.” (QS Ali ‘Imran: 49)
Berdasarkan
kutipan kutipan Kitab Suci dan dokumen gereja inilah, kita bisa melihat bahwa
Tuhan yang dimaksudkan dalam kedua agama adalah sama. Adanya ajaran Islam yang
bertalian/bersangkutan dengan ajaran Kristen menunjukkan adanya pemahaman bahwa
kedua agama ini menyembah Tuhan yang sama. Hanya pada beberapa kasus tertentu,
dimana pengaburan tafsir akan ayat/ajaran turut berpengaruh pada pengaburan dan
penafsiran yang kurang tepat, seperti penafsiran kata ‘kafir’ dalam surah
Al-Kafirun langsung kepada Kristen, sehingga menyebabkan kekeliruan pemahaman
yang fatal dalam ajaran tentang Tuhan.
Kata ‘transenden’ berasal dari bahasa Latin ‘trans’ yang berarti
“seberang, melampaui, atas”, dan ‘scandere’
yang berarti ‘memanjat’. Sehingga
dapat diartikan sebagai, ‘yang lebih unggul, jauh, melampaui pengalaman manusia
dan ilmu pengetahuan’. Sementara kata
‘imanen’, juga berasal dari Bahasa Latin,
‘Immanere’, yang berarti ‘tinggal di dalam’.
Transendensi Tuhan mau mengungkapkan bahwa Tuhan mengatasi
segala-sesuatu (seperti juga dikatakan dengan sebutan maha-). Maka dengan kata
“transenden” lebih ditekankan perbedaan Allah dengan makhluknya.[4]
Transendensi Tuhan menekankan sifat Tuhan yang Maha Besar (Allahu
Akbar/El-Shadai). Namun pandangan ini juga membawa umat pada pemahaman bahwa
Allah itu teramat jauh dan tidak dapat terjangkau oleh manusia.
Transendensi Tuhan dalam Kitab Suci umat Kristen dapat dilihat contohnya
dalam Kitab Mazmur, dimana banyak mazmur yang menyebutkan/menggambarkan
kemegahan Allah yang seperti gemuruh (mis. Mzr. 110 ; 21), kemurkaan Allah yang
amat hebat (mis. Mzr. 7 ; 12), Allah yang menggentarkan (mis. Mzr. 77 : 14), dan
lain-lain. Perihal transendensi Tuhan ini nampak secara amat nyata dalam
Perjanjian Lama. Penekanan terhadap transendensi Tuhan memang amat ketat dalam
perjanjian lama. Contohnya ketika Tuhan menampakkan kemegahannya yang datang
dalam badai dari puncak Gunung Sinai:
Berfirmanlah
TUHAN kepada Musa: "Pergilah kepada bangsa itu; suruhlah mereka
menguduskan diri pada hari ini dan besok, dan mereka harus mencuci pakaiannya.
Menjelang hari ketiga mereka harus bersiap,
sebab pada hari ketiga TUHAN akan turun di depan mata seluruh bangsa itu di
gunung Sinai. Sebab itu haruslah engkau memasang batas bagi bangsa itu
berkeliling sambil berkata: Jagalah baik-baik, jangan kamu mendaki gunung itu
atau kena kepada kakinya, sebab siapapun yang kena kepada gunung itu, pastilah
ia dihukum mati. Tangan seorangpun tidak boleh merabanya, sebab pastilah ia
dilempari dengan batu atau dipanahi sampai mati; baik binatang baik manusia, ia
tidak akan dibiarkan hidup. Hanya apabila sangkakala berbunyi panjang, barulah
mereka boleh mendaki gunung itu." (Kel. 19 ; 10 – 13)
Namun dalam ajaran Kristen, Imanensi Tuhan
juga dengan jelas dilukiskan. Hal ini nampak dengan jelas dalam Perjanjian
baru, yang menekankan sifat Tuhan yang amat dekat dengan umatnya. Relasi yagn
dekat ini dapat kita temukan dalam ajaran Yesus yang menyebut Allah, bukan
hanya sebagai Bapa-Nya, tetapi juga menyebut “.. Bapamu..”¸Bapa dari semua orang. Relasi antara seorang anak dan
bapanya tentulah sangat dekat.
Hubungan antara transendensi dan imanensi
Tuhan dalam ajaran Kristen tidak dapat dipisahkan. Imanensi Tuhan menjadi suatu
penyeimbang transendensi Tuhan. Karena
jika Allah hanya transenden saja, Ia seolah-olah tidak berhubungan lagi dengan
dunia.[5]
Maka dari itu, hubungan antara sifat Allah, Sang Pencipta yang Maha Besar dan
Maha Dahsyat itu tidak dapat dipisahkan dari Sifat-Nya sebagai Bapa, sang
pemelihara yang murah hati. Mengenai ini, seorang pujangga Gereja, St. Thomas
Aquinas, mengajarkan bahwa Allah tidak asing terhadap, dan tidak jauh dari
dunia, ciptaan-Nya.
Sementara, ajaran Islam amat menekankan
Transendensi Tuhan dalam Tauhidnya[6].
Dalam islam, perbedaan status antara Allah dan hamba amat ditekankan.
Kebanyakan ayat dalam Al-Quran menonjolkan Allah dengan sifat transendensi-Nya,
dibandingkan dengan sifat Imanensi-Nya. Walaupun kaum Muslimin memandang
Allah sebagai Allah yang memiliki atribut kasih, pemurah dan penuh rahmat,
Allah tidak mengungkapkan atribut-atribut ini sebagaimana di dalam Kekristenan.
Allah dalam Islam
adalah wujud transenden yang tak ada pandangan yang dapat melihatnya. Ia berada
di atas segala perbandingan. Tidak ada sesuatu yang seperti Dia. Ia ada di luar
jangkauan penjelasan apapun, dan tidak dapat direpresentasikan melalui
penggambaran. Dalam Al-Quran pun tak pernah disebutkan representasi Allah dalam
wujud dan sifat manusia. Hal ini berbeda dengan Alkitab, yang dalam perjanjian
lamapun beberapa kali menyatakan kehadiran Allah dalam sifat manusia, seperti,
Allah berjalan-jalan di taman Eden, dan sekali pernah diceritakan bagaimana
Allah dan dua Malaikat-Nya dalam wujud musafir yang sedang dalam perjalanan,
mengunjungi Abraham di kemahnya.
Karena transendensi
yang amat ditonjolkan inilah, sehingga Allah dalam Islam tidak pernah
digambarkan. Berbeda dengan Kristen, di mana Allah Sang Pencipta digambarkan
sebagai seorang Bapa yang kekal. Hal ini kemudian memudahkan umat memahami, dan
membangun relasi yang akrab demean Tuhan, karena Allah dianggap sebagai Bapa
mereka.
Jelaslah pada
akhirnya, bahwa ajaran Imanensi ternyata tidak mencopot/menanggalkan segala
sifat kebesaran Tuhan sebagai Allah, yang transenden, yang berbeda dari segala
ciptaan, sehingga penghormatan akan sifat-sifat Khusus itu hilang. Namun ajaran
Imanensi justru membuat umat merasa dekat dengan Sang Khalik, membuat umat
menyadari kehadiran Tuhannya, dan karena itu semakin mudah untuk menghormati
dan berbakti kepada Tuhan.
Di Indonesia, baik kaum Muslim maupun
Kristiani/nasrani, menyebut Tuhan dengan “Allah”. “Allah” berasal dari bahasa
Arab. “Al” sama dengan “the” dalam bahasa Inggris, dan “Ilah” yang berarti “Tuhan”. Sebutan ini
memang sesuai dengan ajaran kedua agama ini yang menjunjung tinggi Keesaan
Tuhan, sebab sebutan “Allah”, secara Harafiah berarti Tuhan (Yang Satu). Dr.
Zakir Naik, seorang Ulama internasional, mengatakan bahwa sebutan ‘Allah’
merupakan nama yang paling tepat untuk merujuk kepada Tuhan yang Maha Esa
karena kata ‘Allah’ ini tidak memiliki bentuk jamak, sehingga digunakan dalam
agama-agama besar di dunia.
Kendati mengakui bahwa Allah adalah Esa, keesaan ini dipandang dengan cara berbeda oleh
masing-masing agama. Konsep Keesaan Allah dalam Kristen berbedaan dengan Keesaan
Allah dalam Islam. Islam menekankan sifat Allah yang Esa dengan Keesaan Mutlak. Sementara dalam Kristen, Allah
yang Esa itu memiliki Tiga Pribadi, yaitu Bapa, Putera, dan Roh Kudus; konsep
Trinitas yang amat sulit dimengerti dan dipahami oleh manusia.
Pertentangan mengenai keesaan Tuhan ini sudah
ada sejak awal Islam. Penolakan Islam terhadap konsep Trinitas ini juga
sebenarnya disusupi suatu miskomunikasi atau salah paham dari Muhamad, yang
memahami Tritunggal sebagai Allah Bapa, Putera, dan Allah Ibu (Maria/Maryam).
Padahal Tritunggal yang diimani oleh umat Kristen adalah Allah Bapa, Putera,
dan Roh Kudus. Kesalah-pahaman ini akhirnya diwariskan turun-temurun dalam
ajaran-ajaran Islam, kendati ada juga sebagian yang mengetahui konsep Trinitas
yang sebenarnya. Islam juga memahami Kristen menyembah Allah yang satu dari
tiga, sebagaimana tertulis dalam surat Al-Maidah : 73
Sesungguhnya
kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari
yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang
Esa.
Tentu saja dalam pemahaman Kristen, mereka
tidak menyembah tiga Allah. Tritunggal dalam Kristen menunjukkan Allah yang
Maha Esa dalam tiga pribadi Allah, yang bersatu dalam kekekalan. Hematnya,
lebih mudah menyebut Tritunggal
daripada Allah yang Maha Esa dalam tiga
pribadi Allah, yang bersatu dalam kekekalan.
Dalam Kristen, konsep Trinitas/Tritunggal
tidak sama, dan Tidak dapat disamakan dengan konsep Triteisme. Tritunggal
merujuk kepada pemahaman Bahwa Allah yang Tunggal, dan Maha Esa mempunyai “Tri”
manifestasi. Dalam Trinitas, Allah hadir dalam tiga pribadi atau hipostasis,
tetapi satu Hakikat, dan memiliki Kodrat Ilahi, yang masing-masing Pribadi-Nya
memiliki Kodrat yang identik, bukan sekedar memiliki kemiripan. Sementara
Triteisme amat jelas bermakna “Tiga Tuhan”, yang mana hal ini ditolak dengan
tegas dalam kekristenan.
Teori Perikreosis menjelaskan hubungan antara
ketiga Pribadi dalam Trinitas. Konsep
ini merujuk pada Yohanes pasal 14–17 sebagai dasarnya, yang menuliskan
peristiwa-peristiwa Yesus mengajar para murid perihal makna kepergian-Nya. Kata
Yesus, Ia pergi kepada Bapa demi kepentingan mereka; sehingga Ia dapat datang
kepada mereka ketika "Penolong yang lain" diberikan kepada mereka.
Kemudian, kata Yesus, para murid akan tinggal di dalam diri-Nya, sebagaimana
Dia tinggal di dalam Bapa dan Bapa tinggal di dalam Dia, serta Bapa di dalam
mereka. Menurut teori perikoresis, hal seperti itu dapat terjadi karena
pribadi-pribadi Trinitas "saling mengandung Satu Sama Lain, sehingga Yang
Satu secara permanen menyelubungi, dan secara permanen diselubungi oleh, Yang
Lain yang tetap Ia selubungi". Dengan teori ini, kesatuan antara ketiga
Pribadi ditekankan, dan mau menyatakan bahwa ketiga Pribadi adalah satu, dan
bukannya tiga Allah yang berbeda.
Sementara dalam ajaran Islam,
keesaan Allah mutlak adanya. Pribadi-Nya tak bisa dimanifestasikan dalam wujud
apapun. Allah dalam ajaran Islam tidak pernah disebut Bapa. Karena dalam
Al-Quran dikatakan Allah itu lam yalid
(tidak berputera/anak), dan la yulad (tidak
diperanakkan). Hal ini mau menekankan penolakan kaum muslim terhadap ajaran
konsep Trinitas yang menyebutkan Pribadi Bapa dan Putera, yang diterjemahkan
harafiah sebagai suatu hubungan darah. Hal ini biasa di kalangan Islam, yang
selalu menafsirkan isi Al-Quran secara langsung. Sementara dalam Kekristenan,
Kitab Suci tidak bisa ditafsirkan langsung, karena mengandung makna tertentu.
Dan pertengkaran antara islam dan Kristen mengenai Tritunggal/Trinitas juga
adalah karena adanya perbedaan dan pemahaman berbeda tentang cara menafsirkan
Kitab Suci. Penekanan Transendensi Tuhan juga berpengaruh dalam bagaimana Islam
menolak konsep Trinitas.
Konsep Ketuhanan adalah hal yang
amat mendasar dalam kehidupan keagamaan, tentang bagaimana umat memahami Tuhan
yang disembahnya. Setiap agama tentu memiliki perbedaan dalam konsep
Teologinya. Bahkan dalam agama-agama Abrahamik, yang berasal dari latar
belakang iman seseorang, yakni Abraham, masih terdapat begitu banyak
pertentangan mengenai konsep Ketuhanan itu. Perbedaan itu bahkan membuat orang
bertanya, apakah agama yang satu, menyembah Tuhan, sebagaimana yang disembah
agama yang lain. Kitab Suci menjadi dasar umat untuk mencari Tahu mengenai
Tuhan. Namun setiap agama mempunyai cara masing-masing menafsirkan Kitab
Sucinya. Islam, yang menganggap Alquran diturunkan langsung oleh Allah
sebagaimana adanya, menafsirkan Kitab sucinya persis seperti apa yang
dituliskan di dalamnya. Sementara Kristen, yang memandang Kitab Sucinya,
sebagai pewahyuan dari Allah yang diberikian kepada orang-orang tertentu untuk
disiratkan, mempunyai cara tersendiri untuk menafsirkan Kitab Suci yang
mengandung makna tertentu. Untuk agama Kristen yang terbiasa dengan menafsirkan
Kitab Suci yang mempunyai makna tersembunyi dalam setiap kalimatnya, mudah
untuk mengimani Allah yang mempunyai sifat Transenden sekaligus imanen, yang
Maha Esa dalam tiga pribadi yang bersatu dalam kekekalan. Namun hal itu tidak
mudah bagi umat Islam yang mengartikan Kitab Suci yang bagi mereka “tak perlu
ditafsirkan lagi”.
Sekarang, bagaimana kita bisa
menjawab konsep mana yang paling benar? Jawabannya adalah “apa yang diajarkan
agama anda, itulah yang benar bagi anda”. Mengapa demikian, karena bicara
mengenai kebenaran doktrin yang paling mendasar seperti konsep ketuhanan, kita
tidak akan menemukan sebuah kebenaran mutlak, karena setiap agama memikiki cara
pikir masing-masing. Dan lagi, Tuhan adalah sebuah misteri yang amat besar,
yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Hamdani.
B, dkk, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1985.
Heuken,
Adolf, Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Yayasan Cipta
Loka, 2005.
Konferensi
Waligereja Indonesia, Iman Katolik, Jakarta:
Obor, 1992.
http://www.islamcendekia.com/2014/04/sifat-allah-dalam-al-quran.html
|
||
https://mitrakencana.wordpress.com/2011/01/05/macam-macam-keesaan-tuhan/
|
||
https://www.gotquestions.org/Indonesia/Kristen-Muslim-Allah-sama.html
|
||
[1] Surah Al-Kaafiirun (bahasa Arab:الكافرون) adalah surah ke-109 dalam al-Qur'an. Nama Al-Kaafiirun (orang-orang
kafir) diambil dari kata pertama surah ini. isinya membahas mengenai tidak
ada kompromi untuk menyamakan ajaran agama Islam dengan yang lain.
[2] Suku Quraisy (bahasa Arab: قريش الأمة) adalah suku bangsa Arab
keturunan Ibrahim, yang menetap di kota Mekkah dan daerah sekitarnya.
[3] Konferensi Waligereja
Indonesia, Iman Katolik (Jakarta: Obor 1992), hlm. 181.
[4] Ibid., hal. 143
[5] Ibid., hal. 143
[6] Tauhid = Ajaran mengenai
Keesaan Allah.
Komentar
Posting Komentar